|
Gambar 1. Aku Usia 7 Tahun (Paling Kanan) |
Semuanya dimulai disuatu
hari yang biasa. Aku Teguh Yuono, adalah seorang anak kampung yang begitu
beruntung dapat mengenyam pendidikan di sebuah politeknik yang ada di Lampung melalui
beasiswa yang pemerintah berikan. Aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk ada
disini di antara anak-anak cerdas yang berasal dari keluarga ekonomi kelas
menengah ke atas. Sempat aku ketika itu, merasa hanya ada di alam mimpi. Mengingat
keadaan orang tuaku yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Ya, ayahku
yang petani kecil yang menggarap tidak lebih dari setengah hektar sawah di
kampungku. Begitupun dengan ibuku yang seorang ibu rumah tangga yang masih mau
membantu pekerjaan suaminya. Tentu akan bertambah bebannya jika harus
membiayai kuliahku. Tapi kemudian aku tak pernah menduga, Tuhan bisa sebaik ini
padaku.
|
Gambar 2. Aku di Usia Awal Perkuliahan |
Jadi beginilah rasanya jadi
mahasiswa. Dengan bangganya aku memandang diriku di depan sebuah cermin besar
seraya berkata, “aku sudah jadi mahasiswa”. Masih di awal semester pertama,
ketika itu mungkin sekitar penghujung tahun 2008, aku dihadapkan pada sebuah
masalah yang menurutku sangat pelik. Pelik karena masalah ini menyangkut
masalah uang. Aku yeng ketika itu indekos dan jauh dari orang tua, yang masa
itu hanya diberi jatah uang makan Rp. 300.000,00 untuk satu bulannya harus bisa
memiliki batik untuk sebuah acara resmi yang diadakan di jurusan tempat aku
menimba ilmu, Jurusan Budidaya Tanaman Perkebunan. Memang sudah sedari lama aku
ingin memiliki selembar saja baju batik. Begitu tampak elegan seseorang yang
mengenakan baju batik menurutku kala itu. Tapi apalah daya semuanya harus ku
pendam bersama dengan perut yang selalu merengek minta untuk diisi.
|
Gambar 3. Ayahku (Mengenakan Topi Hitam) |
Acara itu akan digelar 2
minggu setelah aku mendengar ketua himpunan mahasiswa jurusanku yang
mengumumkan bahwa semua mahasiswa semester satu wajib datang dengan mengenakan
baju batik dan membayar kontribusi sebesar Rp. 20.000,00. Awalnya aku sempat
berpikir untuk tidak menghadirinya, namun karena begitu polosnya aku yang takut
akan ancaman dan sanksi yang akan diberikan bagi mereka yang tidak ikut dalam
acara itu, akhirnya aku memutuskan untuk ikut, bagaimanapun caranya. Maklum, mahasiswa
semester awal khan biasanya sangat
takut pada kakak tingkat. Apalagi aku
yang masih polos kala itu.
Sepulang dari pengumuman itu
aku langsung menuju sebuah pasar kecil yang ada tidak jauh dari kampusku. Sesampainya
disana, dengan tak membuang waktu aku langsung menuju beberapa toko batik yang
sepi pengunjung. Tak lebih dari sekedar untuk bertanya mengenai berapa harga
batik termurah dari beberapa penjaganya itu aku kemudian pulang menuju kosanku
yang sederhana. Dari pasar tadi aku begitu tertarik dengan batik berwarna ungu
yang ku kira akan cocok dengan warna kulitku yang memang hitam. Ya, memang
bagus harganya Rp. 30.000,00 dan mungkin dapat aku membelinya.
Malam hari dihari yang sama,
ibu ku terkasih menelpon ku untuk sekedar bertanya kabar dan persediaan uang
makan. Dengan sederhananya aku jawab kabarku baik dan uang makan masih cukup
untuk 2 minggu lagi. Padahal sebenarnya uang di dompetku tak lebih dari dua lembar
uang bergambar I Gusti Ngurah Rai, selembar uang bergambar pahlawan nasional
Otto Iskandar Dinata, serta beberapa lembar uang seribuan. Aku tak mau terlalu
membuatkan beban baru untuk orang-orang dirumah. Aku pun kemudian menceritakan
rencanaku untuk membeli sebuah baju batik untuk sebuah acara di kampus. Kemudian
dengan khusyuknya ibu bertanya memang cukup uang mu untuk membeli baju batik itu. Aku pun menjawab dengan yakin Insya Alloh cukup.
|
Gambar 4. Aku di Kampusku (Paling Kanan) |
Agar bisa membeli batik yang
ku lihat di pasar kemarin dan membayar uang kontribusi acara, aku menetapkan
pengeluaranku untuk makan 1 hari uang yang aku keluarkan tidak boleh lebih dari
Rp. 5.000,00 agar di akhir minggu depan aku masih memiliki uang Rp. 50.000,00.
Uang yang mungkin kecil bagi sebagian besar orang, tapi tidak untukku. Aku menyadari
ayah dan ibu dirumah berusaha keras setiap hari untuk bisa mengirimi aku uang untuk
biaya hidup setiap bulannya. Agar tidak sampai tergunakan, selembar uang Rp.
50.000,00 di dalam dompetku ku ambil dan ku lipat kecil lalu ku masukkan ke
dalam selipan KTP yang juga ada di dompet kecilku.
Hari-hari yang ku jalani
selama 2 minggu itu terasa begitu panjang. Waktu terasa begitu lambat berlalu.
Semua yang ku rasakan ini tidak lain karena aku ingin bisa memiliki sebuah
batik. Sebuah batik yang aku idamkan untuk ku kenakan di acara yang pertama
kalinya aku hadiri dalam kapasitasku sebagai mahasiswa. Aku makan tidak lebih
dari 2 kali dalam satu harinya di 2 minggu itu. Uang sebesar Rp. 5.000,00 tidak
lah mungkin cukup untuk makan normal, karna untuk 2 kali sehari saja aku sudah
menyederhanakan menu makanan yang ku telan.
Hari berlalu. Minggu berganti.
Dan batik harus segera ku miliki untuk dapat hadir di acara itu. Tentu akan
malu jika hadir tanpa mengenakan batik. Pasti aku akan merasa asing berada di
sebuah kumpulan orang-orang yang berbatik ria jika aku tak mengenakan batik.
Singkat cerita, 2 hari
menjelang acara itu, aku memutuskan untuk membeli batik yang kemarin aku lihat
di pasar itu. Ketika sampai dipelataran pasar yang kemarin aku kunjungi, aku kaget
bukan kepalang, uang yang aku lipat dan ku masukkan ke dalam selipan KTP 2
minggu lalu raib entah kemana. Aku hanya bisa tersenyum pilu dan menggumamkan
kutukan di dalam hati. Kemana uang yang aku tabung dengan mempertaruhkan tangis
perutku itu. Seraya menunduk aku kembali ke kosanku yang letaknya sekitar 1 km
dari pasar itu.
Malam harinya ibuku menelpon
lagi. Aku pun mencurahkan isi hatiku tentang apa yang ku alami hari tadi. Sambil
tertawa kecil ibu menenangkan hati anaknya ini dengan wejangan-wejangan nan
syahdu dan mendinginkan hatiku. Satu kalimat yang paling ku ingat dari beberapa
wejangan beliau. Hidup itu harus sederhana, seperti batik, kesederhanaan yang
dimilikinyalah yang membuat batik nampak indah, nampak asri, dan nampak
prasojo.
Malam pun larut. Ibu pun
mungkin sudah tidur selepas salam yang ku ucapkan di akhir perbincangan telepon
1 jam yang lalu. Aku masih berkeluh kesah tentang nasib batikku dan acara lusa untuk
berpuluh-puluh menit lamanya hingga akhirnya pulas tertidur.
Keesokkan harinya aku
memulai aktivitas seperti biasa, tanpa ada perasaan yang layu seperti kemarin. Apa
yang telah dikatakan ibu semalam, telah lebih dari cukup untuk meredam kesedihanku
tentang batik, meski tak ku pungkiri asa akan batik itu masih ada. Batik yang
adalah lambang kesederhanaan dan keindahan nyata entah kapan aku bisa
membalutkanmu disini, di jiwa dan ragaku.
Dengan langkah tak gontai
aku pulang ke tempat di mana aku biasa menghabiskan waktu di malam hari,
kosanku tercinta nan sederhana. Dengan masih tanpa sadar aku mendzikirkan
lafadz batik, batik, batik, dan batik aku tiba di pelataran kosan. Betapa terkejutnya
aku melihat sosok ayahku tengah berada di depan pintu kamarku membawakan aku
sekarung beras untuk persedianku makan selama di perantauan dan sehelai batik nan elok yang masih terbungkuskan plastik transparan. Biru dan hitam, begitulah
warna yang menghiasi corak batik pertamaku itu. Haru bercampur bahagia
menyelimuti kala itu. Dan ayah hanya bisa tersenyum sambil menggusur karung
beras itu ke dalam kamar kosanku. Ternyata dia sengaja tak mengabariku perihal
akan datang ke kosanku untuk membuat sebuah kejutan kecil.
|
Gambar 5. Pelataran Kosanku |
Semalaman beliau bercerita
kisah dan segala hal tentang makna-makna di balik guratan-guratan canting yang
bertintakan malam di sebuah kain yang disebutnya batik itu. Aku hanya termanggu
dan meresapi apa yang dikatakannya tentang batik dan kesederhanaan. Malam kian
larut, aku terbangun, dan tak ku sadari aku ternyata telah lebih dahulu
tertidur di saat beliau bercerita tentang batik. Aku kemudian tertidur lagi. Beliau
di sampingku tertidur dengan pulasnya, mungkin karena lelah dalam perjalanan
tadi sore.
Keesokkan harinya aku bangun
lebih awal, menyiapkan segelas kopi hitam kesukaan ayah dan kemudian mandi. Hari
ini adalah hari dimana acara itu, acara yang membuatku gusar untuk 2 minggu
akan dimulai. Tak panjang cerita, aku langsung mengenakan batik pemberian ayah
yang begitu pas dengan ukuran badanku. Aromanya masih tercium seperti aroma
toko kain batik. Aku tak peduli.
Ayah pulang ke kampung
bersama dengan aku yang menuju kampus. Hingga sebuah mobil bus jurusan desa
kami menghampiri, ayah masih bersamaku dan berpesan untuk menjaga batik pemberiannya. Aku mengiyakannya seraya berjanji dalam hati untuk terus
merawatnya.
Menuju acara itu, aku berjalan
kaki seraya menunduk dan tersenyum, tersipu malu. Aku malu pada Tuhan.
Terimakasih Tuhan, Engkau begitu sayang pada ku.
|
Gambar 6. Aku Masih Malu (Duduk ke-2 dari Kiri) |
Aku akhirnya berada diantara
mereka, teman-teman dan kakak-kakak tingkat ku di acara itu. Dengan bangga aku
mengenakan batik pemberian ayah yang tak tau di butik batik mana ayah
membelinya, yang jelas tak mungkin ayah membelinya di toko batik online.
|
Gambar 7. Aku Ada di Antara Mereka |
Semuanya memang akan indah
pada waktunya. Tuhan selalu memberikan kejutan yang tak bisa kita duga. Sebuah pengajaran
yang Tuhan berikan padaku melalui ayah dan batik ini adalah kesederhanaan. Kesederhanaan
yang membawaku akhirnya mampu meraih gelar Sarjana Sains Terapan di akhir tahun
ke-4 setelah aku memperoleh pendidikanku.
|
Gambar 8. Aku dan Batik Pemberian Ayah |
Terimakasih Tuhan, ayah,
ibu, dan engkau batikku yang kini sudah tak muat lagi dengan postur tubuhku
yang menjadi gendut.
Semoga Tuhan selalu
melimpahkan rahmatnya kepada mereka berdua yang telah begitu berjasa bagiku dan
kesederhanaan ini.
Terimakasih banyak.
|
Gambar 9. Wisudaku |
Title : Kisah Kecilku tentang Batik, Kesederhanaan, dan Ayah
Description : Gambar 1. Aku Usia 7 Tahun (Paling Kanan) Semuanya dimulai disuatu hari yang biasa. Aku Teguh Yuono , adalah seorang anak kamp...